Alasan BASF SE Mundur dari Proyek Nikel-Kobalt senilai USD2,6 Miliar di Teluk Weda

Alasan BASF SE Mundur dari Proyek Nikel-Kobalt senilai USD2,6 Miliar di Teluk Weda

Foto Proyek Nikel-Kobalt di Teluk Weda, Indonesia.--

PERSPEKTIF.CO.DI - BASF SE resmi mengundurkan diri dari rencana investasi pemurnian nikel-kobalt di Teluk Weda, Indonesia. Hal tersebut disampaikan Anup Kothari, Anggota Dewan Direktur Eksekutif BASF SE dalam sebuah siaran pers.

"Setelah melalui evaluasi menyeluruh, kami mengumpulkan bahwa kami tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Teluk Weda," ungkap Anup Kothari seperti dikutip pada Rabu (26/6).

Kothari mengungkapkan bahwa sejak dimulainya proyek ini, pasar nikel telah berubah secara signifikan. Akibatnya BASF tidak lagi melihat perlunya melakukan investasi besar untuk memastikan pasokan logam yang tangguh untuk bisnis bahan baterainya.

Dikutip dari Indopremier.com, awalnya proyek ini ditargetkan akan menghasilkan sekitar 67.000 ton nikel dan 7.500 ton kobalt kemudian mulai produksi pada tahun 2026.

Menanggapi hal tersebut pakar energi dari Universitas Indonesia, Iwa Garniwa, mencurigai bahwa rencana hengkangnya BASF SE dari proyek smelter nikel-kobalt bersama Eramet SA di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk ketidakpercayaan terhadap Indonesia. 

Diketahui BASF SE merupakan perusahaan kimia terbesar di dunia asal Jerman, berencana menarik diri dari proyek Sonic Bay yang menggunakan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) untuk memproduksi bahan baku baterai kendaraan listrik di Maluku Utara. 

“Memang disayangkan BASF ini berencana mundur, padahal Indonesia cukup masif meningkatkan EV yang mana baterai sangat penting dan menjadi fondasi pengembangan EV,” ujar Iwa.

Sementara itu Iwa, yang juga menjabat sebagai Rektor Institut Teknologi PLN, menyatakan bahwa ketidakpastian hukum dan situasi ekonomi Indonesia turut mempengaruhi keputusan tersebut.

Yang mana saat ini nilai tukar rupiah yang fluktuatif, terutama pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat, serta perkembangan teknologi kendaraan berbasis hidrogen di negara lain, juga disebut sebagai faktor yang mempengaruhi keputusan BASF SE. 

Adapun, rupiah memang dibuka menguat ke Rp16.380/US$ pada Selasa pagi (25/6). Level tersebut menguat 0,09% di awal perdagangan spot, dan selanjutnya makin menguat ke Rp16.372/US$.

Meskipun demikian, Iwa optimistis Indonesia masih memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pengembangan kendaraan listrik global dengan dukungan regulasi yang memadai dan kemudahan investasi.

Proyek smelter nikel-kobalt ini memiliki nilai investasi sebesar US$2,6 miliar (sekitar Rp42,64 triliun). 

Namun, BASF SE mengungkapkan bahwa ketersediaan nikel berkualitas baterai secara global telah meningkat sejak proyek dimulai, sehingga mereka tidak lagi melihat perlunya investasi besar tersebut.

Kemudian prospek kendaraan listrik juga mengalami penurunan dengan BloombergNEF memangkas perkiraan penjualan baterai-listrik sebesar 6,7 juta unit hingga 2026, yang juga mempengaruhi pasar di Jerman dan Amerika Serikat. Beberapa perusahaan besar, termasuk Volkswagen AG dan Mercedes-Benz, telah mengurangi atau mengalihkan proyek baterai mereka.

Sumber: